Bahasa Indonesia adalah varian
bahasa Melayu, Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah
salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dasar yang dipakai
adalah bahasa Melayu Kuno Riau (wilayah Kepulauan
Riau sekarang) dari abad ke-19. Sebuah bahasa Austronesia dari
cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua
franca di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad
awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam
bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera,
mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari
wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang
menguasai jalur perdagangan.
Kerajaan
Sriwijaya dari abad ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu
(sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan.
Lima prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan
kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman
dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang
Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena
ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau
Luzon.[11] Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra,
kepala, kawin, dan kaca masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
Pada abad ke-15
berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval
Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya
kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas di
kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung
Malaya. Laporan Portugis, misalnya
oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua
pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki
budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling
menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman
dari bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari
penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab
seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi
seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada
periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga
sekarang.
Kedatangan pedagang
Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan
mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak
memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti
gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama
banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam
upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata
seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa
ini.
Bahasa yang dipakai
pendatang dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat
kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah
dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan
perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko,
tauke, dan cukong.
Jan Huyghen van
Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad
ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang
paling penting di "dunia timur". Luasnya
penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian lokal dan temporal.
Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara
bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa
setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa kota pelabuhan di kawasan
timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang.
Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa
Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia.
Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa
surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian
lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para
peneliti bahasa.
Terobosan penting
terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari
istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka)
menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu dapat
dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi
dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan
dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19
dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal
masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta
bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa
ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus
sebagai bahasa kedua atau ketiga. Kata-kata pinjaman
Bahasa Indonesia
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda
menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi
kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi
dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah
memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam
standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah
dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan
ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai
terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20
perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun
1901, Indonesia (sebagaiHindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van
Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak
menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan
Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari
penyusunan Kitab Logat Melayu(dimulai tahun 1896) van Ophuijsen,
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah
semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de
Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908.
Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di
bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman
Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah
pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat
pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa
Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada
saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan
bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang
politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional
kedua di Jakarta, Yamin mengatakan, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa
yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa
diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua
bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan
atau bahasa persatuan."
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.
Peristiwa-peristiwa penting
· Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku
bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan
Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan
penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti
Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di
kalangan masyarakat luas.
·
Tanggal 16 Juni
1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya.
Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato
menggunakan bahasa Indonesia.
·
Tanggal 28 Oktober 1928
secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi
bahasa persatuan Indonesia.
·
Tahun 1933 berdiri
sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga
Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
·
Tahun 1936 Sutan Takdir
Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 25-28 Juni 1938
dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil
kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia
saat itu.
·
Tanggal 18 Agustus 1945
ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya
(Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 19 Maret 1947
diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van
Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2
November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan.
Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus
menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan
ditetapkan sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 16 Agustus
1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di
hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun
1972.
·
Tanggal 31 Agustus 1972
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku
di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2
November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres
yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain
memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak
tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
·
Tanggal 21-26 November
1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini
diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam
putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus
lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal
mungkin.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 3
November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres
ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei
Darussalam,Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman,
dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya
besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di
Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2
November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta.
Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India,
Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres
mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya
menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang
Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 26-30 Oktober
1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia,
Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
·
Kongres Bahasa Indonesia
VIII pada Tahun 2003 menghasilkan BIPA ( Bahasa Indonesia Penutur Asing )
·
Kongres Bahasa Indonesia
IX pada Tahun 2008 menghasilkan pengembangan insan cerdas dan kompetitif
·
Kongres Bahasa Indonesia
X pada Tanggal 28-31 Oktober 2013, di
Jakarta menghasilkan pemantapan bahasa Indonesia sebagai
bahasa ilmu pengetahuan melalui peningkatan penerjemahan dan penerbitan karya
sains.
Penyempurnaan ejaan
Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa
tahapan sebagai berikut:
Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa
Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu
oleh Nawawi Soetan Ma’moer danMoehammad Taib Soetan
Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang
kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah
kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1.
Huruf ï untuk
membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus
disuarakan tersendiri
dengan diftong sepertimulaï dengan ramai. Juga digunakan
untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2.
Huruf j untuk
menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3.
Huruf oe untuk
menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4.
Tanda diakritik,
seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan
kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947
menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan
Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
1.
Huruf oe diganti
dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2.
Bunyi hamzah dan bunyi
sentak ditulis dengan k pada
kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3.
Kata ulang boleh ditulis
dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4.
Awalan di- dan kata
depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959.
Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah
peresmian ejaan ini.
Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal
16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan
Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun,
yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia
(pra-1972)
|
Malaysia
(pra-1972)
|
Sejak
1972
|
tj
|
ch
|
c
|
dj
|
j
|
j
|
ch
|
kh
|
kh
|
nj
|
ny
|
ny
|
sj
|
sh
|
sy
|
j
|
y
|
y
|
oe*
|
u
|
u
|
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan "u".
0 komentar :
Posting Komentar